Minggu, 02 Oktober 2011

Ushul Fiqhi 2nd Smester





 USHUL FIQHI

NAMA :
JUSTANG ( 20401110037 )
PBI 3

PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI ALAUDDIN MAKASSAR
2010 / 2011

BAB I
PENGANTAR

A.    PENGERTIAN ILMU FIQH DAN USHUL FIQH
Dari segi bahasa, fiqh berasal dari kata faqaha yang berarti “memahami dan “mengerti.
Dalam peristilahan syar’I, ilmu fiqh adalah sebagai ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar’i amali (praktis) penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalinya yang terperinci.
Sedangkan Ushul Fiqh, sebagai rangkaian daridua kata: ushul dan fiqh. Kata ushul itu sendiri berasal dari bahasa Arab juga yaitu bentuk jamak dari kata Ashlu yang artinya: asal, dasar, atau pokok.
Jadi, ushul fiqh adalah kumpulan kaidah atau metode yang menjelaskan kepada ahli hukum islam tentang cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’.
Perbedaannya adalah kalau ilmu fiqh berbicara tentang hukum dari suatu perbuatan dan lebih bercorak pada produk, sedangkan ushul fiqh membicarakan bagaimana cara atau proses menemukan hukum yang digunakan sebagai jawaban permasalahan yang dipertanyakan tersebut dan bersifat metodologis.

B.     RUANG LINGKUP PEMBAHASAN 
Adapun Objek kajian dalam Ilmu Fiqh adalah :
1.      Dalil-dalil atau sumber hukum syara’
2.      Hukum-hukum  syara’ yang terkandung dalam dalil itu
3.      Kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengerluakan hukum syara’ dari dalil atau sumber yang mengadungnya.
  Obyek kajian pada ilmu fiqh ini menyangkut; ibadah, mu’amalah, dan ‘uqubah.
            Sedangkan objek kajian pada Ushul fiqh adalah:
1.      Sumber hukum islam atau dalil-dalil
2.      Mencarikan jalan keluar dari dalil-dalil yang dianggap bertentangan
3.      Pembahasan ijtihad, syarat, sifat orang yang melakukannya
4.      Pembahasan tentang hukum syara’
5.      Pembasahan tentang kaidah-kaidah yang digunakan
Sehingga melahirkan kaidah-kaidah yaitu perintah itu mewajibkan, larangan itu mengharapkan, lafaz umum itu mencakup seluruh satuannya, dan lafaz mutlak itu mengacu kepada satuan-secara umum-  tanpa kait.

C.    TUJUAN DAN KEGUNAANNYA
1.      Tujuan
Dengan mempelajari ilmu fiqh kita akan mengetahui mana yang diperintah dan yang dilarang, serta metode penerapan kaidah dan pembahasan kepada dalil-dalil untuk sampai kepada hukum syariat dengan berdasarkan pada sumber-sumber hukum islam. Sehingga, pada akhirnya dapat diterapkan dalam amal perbuatan manusia, baik tindakan maupun perkataan. Tapi perlu diingat bahwab Ushul fiqh bukan ‘tujuan’ tapi ‘sarana’ untuk memecahkan masalah yang ada.
2.      Kegunaan
Secara sistematis, kegunaannya adalah:
a.          Mengetahui kaidah dan cara yang digunakan mujtahid dalam memperoleh hukum melalui metode ijtihad yang disusun.
b.         Memberikan gambaran mengenai syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid.
c.          Menentukan hukum dengan melalui berbagai metode yang dikembangkan para mujtahid.
d.         Memelihara agama dari penyalahgunaan dalil yang mungkin terjadi.
e.          Menyusun kaidah umum yang dapat diterapkan guna menetapakan hukum dari berbagai persoalan social yang terus berkembang.

D.    SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
1.      Sejarah perkembangan Ilmu fiqh
a.       Periode pertumbuhan, dimulai sejak kebangkitan (Bi’tsah) nabi Muhammad Saw sampai beliau wafat (12 Rabi’ul Awwal 11 H/ 8 juni 623 M). Periode ini berlangsung selama 20 tahun beberapa bulan, dan dibagi kepada 2 masa:
Pertama, ketika nabi masih melakukan dakwah di mekkah secara sembunyi tentan aspek tauhid. Kemudian diikuti dengan dakwah terbuka berlangsung selama 13 tahun dan sedikit demi sedikit ayat tentang hukum turun.
Kedua, sejak Nabi hijrah ke Madinnah (16 Juli 622 M), pada masa itu terbentuklah Negara islam yang memerlukan aturan hukum untuk mengatur system masyarakat islam Madinnah. Pada masa ini, Fiqh lebih bersifat praktis dan realis karna kaum muslim mencari hukum dari suatu peristiwa tersebut betul-betul terjadi. Sumber hukum islam pada periode ini adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad, baik kata-kata dan maknanya langsung dari Allah, sedang kata-katanya dari Nabi.
b.      Periode sahabat dan tabi’in mulai dari khalifah pertama (khulafat Rasyidin) sampai pada masa Dinasti Amawiyyin (11H-101H/631M-720M). Bermula sejak Nabi wafat pada tahun 11 H sampai akhir abad pertama H (± 101H). Daerah kekuasaan islam meluas meliputi Semenanjung Arabia, seperti Mesir, Syiria, Irak, dan Iran (Persia). Rujukan / sumber hukum islam juga sudah sempurna yaitu Al-Qur’an dan Hadis Rasul, tapi tiidak semua orang dapat memahaminya karna pertama, banyak yang bukan dari sahabat dekat Nabi dan harus dibantu. Kedua belum tersebar luasnya materi / teori  hukum dikalangan kaum muslimin. Ketiga, Banyaknya terjadi peristiwa yang tidak terjadi pada masa Rasulullah dan harus dicarikan jalan keluarnya. Oleh karna itu, para sahabat nabi memberikan tafsiran terhadap ayat atau hadis serta member fatwa terhadap kasus-kasus yang terjadi pada masa itu, sehingga melahirkan Ijtihat yang merupakan Sumber hukum islam tambahan kita sekarang.

c.       Periode kesempurnaan, yakni pada periode imam-imam mujtahid besar dirasah Islamiyah pada masa keemasan Bani Abbasiyah yang berlangsung selama 250 tahun (101H-350H/720M-961M). Periode ini juga disebut periode pembinaan dan pembukuan hukum islam dan Fiqh mengalami kemajuan yang pesat. Penulisan dan pembukuan dilakukan dengan intensif, baik penulisan hadis nabi, fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir Al-Qura’an, kumpulan pendapat imam-imam Fiqh, dan penyusunan ilmu ushul fiqh. Perkembangannya juga diakibatkan oleh meluasnya daerah kekuasaan islam, mulai dari perbatasan Tiongkok sebelah Timur sampai ke Andalusia (Spanyol), sebelah Barat. Namun semakin luas daerha kekuasaan maka semakin banyak permasalahan yang muncul, oleh karna itu muncullah pemikir-pemikir besar degan berbagai macam karya-nya masing-masing.
d.      Periode kemunduran, sebagai akibat dari taklid dan kebekuan karna hanya menyandarkan produk-produk ijtihad mujtahid-mujtahid sebelumnya, yang dimulai pada pertengahan abad ke-4 H sampai akhir abad ke-13 H, atau sampai terbitnya buku al-Majallat al-Ahkam al-‘Adliyat tahun 1876 M. periode ini memkan waktu selama 9 setengah abad. Terjadi konflik politik dan beberapa factor sosiologis terutama pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah dan menyebabkan lemahnya kemauan dan kegairahan ulama untuk mencapai tingkat mujtahid mutlak sepertii yang dilakukan oleh pendahulu mereka. Mereka hanya terperangkap kea lam pikiran yang jumud dan statis. Adapun factor-faktornya adalah karna: pertama, efek samping dari pembukuan fiqh pada periode sebelumnya. Kedua, Fanatisme mazhab yang sempit. Dan ketiga, Pengangkatan hakim-hakim muqallid.
e.       Periode pembangunan kembali , mulai dari terbitnya buku itu sampai sekarang. Umat islam menyadari kemunduran dan kelemahan mereka tepatnya ketika munculnya Napoleo Bonaparte yang menduduki Mesir pada tahun 1789 M dan membuat mereka insyaf. Gerakan pembaruan dalam islam, baik dibidang pendidikan, ekonomi, militer, social, dan intelektual lainnya, dan juga pada perkembangan ilmu Fiqh. Mereka berseru untuk meninggalkan taklid dan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis.

BAB II
HUKUM SYAR’I

A.       PENGERTIAN
Hukum adalah menetapkan sesuatu di atas sesuatu.
Secara lughawy (etimologis) syariat berarti jalan ke tempat pengairan atau sesungguhnya yang harus diturut. Atau juga jalan yang dilalui untuk mengambil sesuatu (air). Jadi, syariat diartikan sebagai hukum-hukum atau segala aturan yang ditetapkan Allah buat hamba-Nya untuk dita’ati, baik berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah maupun dengan sesama manusia. 
Sedangkan, hukum syar’I adalah khitab (titah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf yang mengandung tuntunan, kebolehan, boleh pilih atau wadha’ (yaitu mengandung ketentuan tentang ada atau tidaknya sesuatu hukum).
            Adapun pemberitahu hukum syar’I adalah dibawa oleh Nabi dan kemudian diteruskan kepada para sahabat dan tabi’in serta kepada seluruh umat manusia, yang kesemuanya ditetapkan oleh Allah Swt. 
                                          
B.        PEMBAGIAN HUKUM SYAR’I
1.      Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah hukum syar’I yang mengandung tuntutan (dikerjakan atau tidak oleh mukalaf) atau yang mengandung pilihan antara dikerjakan atau ditinggalkan.
Hukum ini dibagi dalam 5 bagian; ijab, nadb, tahrim, karabah, dan ibadah.
Ijab adalah firman Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti. Seperti dalam Q.S Al-Baqarah (2):43, yang artinya “ Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku.”
Nadb adalah firman Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan perbuatan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk berbuat. Q.S Al-Baqarah (2):282, yang artinya “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya.”
Tahrim adalah firman Allah yang menuntut untuk tidak melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Q.S Al-Maidah: 3, yang artinya “ Diharamkan bagimu untuk memakan bangkai, darah, dan daging babi .“
Karahah adalah firman Allah yang menuntut untuk tidak melakukan suatu perbuatan dengan tuntunan yang tidak pasti, tapi hanya berupa anjuran untuk tidak berbuat. Q.S Al-Maidah: 101, yang artinya “ Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) tentang hal-hal yang jika diterangkan kepadamu niscaya menyusahkanmu.
Ibadah adalah firman Allah yang memberikan kebebasan kepada mukalaf untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Q.S Al-Baqarah: 235, yang artinya
“ Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran .“
Adapun efek-efek dari hukum syar’I adalah: wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah.
a.       Wajib
Wajib adalah segala perbuatan yang diberi pahala jika mengerjakannya dan diberi siksa (’iqab) apabila meninggalkannya. Misalnya, mengerjakan beberapa rukun islam yang lima (5).
Dilihat dari beberapa segi, wajid terbagi empat (4):
1.      Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang dituntut, wajib dibagi menjadi 2 bagian:
a.       Wajib mu’ayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannya, misalnya membaca fatihah dalam sholat.
b.      Wajib mukhayyar, yaitu yang boleh dipilih salah satu dari beberapa macam perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya, kifarat sumpah yang memberi pilihan 3 alternatif, memberi makan atau pakain 10 orang miskin, atau memerdekakan budak.                   
2.      Dilihat dari segi waktu yang tersedia untuk menunaikannya, adakalanya wajib itu ditentukan waktunya waktunya, seperti shalat 5 waktu dan puasa Ramadhan, dan adakalanya tidak ditentukan waktunya, seperti membayar kifarat sumpah bagi orang yang melanggar sumpah.
Wajib yang ditentukan waktunya terbagi menjadi 2 bagian:
a.       Wajib mudhayyaq, waktu yang ditentukan untuk melaksanakan kewajiban itu sama banyak dengan waktu yang dibutuhkan unktuk itu. Misalnya, bulan Ramadhan untuk melaksanakan puasa Ramadhan
b.      Wajib muwassa’, waktu yang tersedia lebih banyak dari waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan kewajiban tersebut. Misalnya, shalat Zhuhur. Sehingga untuk melaksankannyabbebas disembarang wakru baik di awal, pertengahan, ataupun di pengujungnya.
3.        Dilihat dari segi siapa saja yang harus memperbuatnya, wajib terbagi kepada 2 bagian :
a.       Wajib ‘aini, yaitu wajib yang dibebankan atas pundak setiap mukalaf. Misalnya, mengerjakan shalat 5 waktu, puasa Ramadhan, dsb. Wajib ini juga disebut dengan fardhu ‘ain.
b.      Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat, tanpa melihat siapa yang mengerjakannya. Apabila kewajiban itu telah ditunaikan salah seorang di antara mereka, hilanglah tuntutan terhadap yang lainnya. Namun, bila tidak seorangpun yang melakukannya, berdosalah semua anggota masyarakat tersebut. Misalnya, mendirikan tempat peribadatan, rumah sakit, sekolah, menyelenggarakan shalat jenazah, dsb.
4.            Dilihat dari segi kadar (kuantitas) nya, wajib dibagi kepada 2 bagian :
a.       Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan kadar atau jumlahnya. Misalnya, jumlah zakat yang mesti dikeluarkan, jumlah raka’at shalat, dll.
b.      Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas bilangannya. Misalnya, membelanjakan harta di jalan Allah, berjihad, tolong-menolong, dsb.
b. Haram
Haram adalah segala perbuatan yang dilarang mengerjakannya.
Orang yang melakukannya akan disiksa, berdosa (‘iqab), dan yang meninggalkannya diberi pahala. Misalnya, mencuri, membunuh, tidak menafkahi orang yang menjadi tanggungan, dsb. Perbuatan ini juga disebut maksiat, qabih.
           Secara garis besar, haram dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
1.      Haram karna perbuatan itu sendiri, atau haram karna zatnya. Haram seperti ini pada pokoknya adalah haram yang memang diharamkan sejak semula. Misalnya, membunuh, berzina, mencuri, dll.
2.      Haram karna berkaitan dengan perbuatan yang lain, atau haram karna factor lain yang datang kemudian. Misalnya, jual beli yang asal hukumnya mubah, berubah menjadi haram ketika adzan jum’at berkumandang. Begitu juga dengan puasa Ramadhan yang semulanya wajib berubah menjadi haram karna hanya dengan berpuasa itu akan menimbulkan sakit yang mengancam keselamatan jiwa. Begitu juga dengan yang lain.
c.       Mandub
Mandub adalah segala perbuatan yang dilakukan akan mendapatkan pahala, tetapi bila tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa, dosa (‘iqab). Biasanya, Mandub ini disebut juga sunat atau mustahab, dan terbagi kepada:
1.      Sunat ‘ain, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi mukalaf untuk dikerjakan, misalnya shalat sunat rawatib.
2.      Sunat kifayah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh salah seorang saja dari suatu kelompok, misalnya, mengucapkan salam, mendo’akan orang bersin, dll.
Selain itu, sunat juga dibagi kepada:
1.   Sunat muakkad, yaitu perbuatan sunat yang senantiasa dikerjakan oleh Rasul, atau lebih banyak dikerjakan Rasul daripada tidak dikerjakannya. Misalnya, shalat sunat hari raya.   
2.   Sunat ghairu muakkad, yaitu segala macam perbuatan sunat yang tidak selalu dikerjakan Rasul, misalnya bersedekah pada fakir miskin.
d.   Makruh
                        Makruh adalah perbuatan yang bila ditinggalkan, orang yang meninggalkannya mendapat pahala, tapi orang yang mengerjakannya tidak mendapat dosa (‘iqab). Misalnya, merokok, memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap, dll.
                        Pada umumnya, ulama membagi makruh kepada 2 bagian:
1.   Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik daripada mengerjakan, seperti contoh-contoh tersebut di atas.  
2.   Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang melarangnya itu zhanny, bukan qath’I. Misalnya, bermain catur, memakan kala, dan memakan daging ular (menurut mazhab Hanafiah dan Malikiyah).

e.       Mubah
Mubah adalah segala perbuatan yang diberi kebebasan untuk memilihnya, melakukan atau tidak melakukaan. Secara umum, mubah ini dinamakan juga halal atau jaiz.
           Mubah dibagi kepada 3 bagian:
1.      Perbuatan yang ditetapkan secara tegas kebolehanya oleh syara’, dan manusia diberi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukannya. Misalnya: meminang wanita dengan sindiran yang baik (QS Al-Baqarah(2):225)
2.      Perbuatan yang tidak ada dalil syara’ menyatakan kebolehannya memilih, tetapi ada perintah untuk melakukannya. Hanya saja, perintah itu hanya dimaksudkan berdasarkan qarinah-menunjukan mubah atau kebolehan saja, bukan untuk wajib. Misalnya, perintah berburu ketika telah selesai melaksanakan ibadah haji. (QS Al-Maidah (5):2).
3.      Perbuatan yang tidak ada keterangannya sama sekali dari syar’I tentang kebolehan atau tidak kebolehannya. Hal ini dikembalikan kepada hukum baraat al-ashliyah (bebas menurut asalnya). Oleh sebab itu, segala perbuatan dalam bidang muamalat menurut asalnya adalah dibolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya. Untuk itu, ulama ushul fiqh membuat kaidah “menurut asalnya segala sesuatu itu adalah mubah”.  

2. Hukum Wadh’I
     Hukum Wadh’I adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang (man’) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut. Oleh karnanya, ulama membagi hukum wadh’I ini kepada: sebab, syarat, mani’. Tapi sebagian yang lain berpendapat: sah dan batal, azimah, dan rukhshah.
a.       Sebab
                     Sebab adalah sagala sesuatu yang dijadikan oleh syar’I sebagai alasan bagi ada dan tidak adanya hukum. Adanya sesuatu yang menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan tidak adnya hukum.
                     Ulama membagi sebab ini menjadi 2 bagian:
1.   Sebab yang di luar kemampuan mukalaf. Misalnya, keadaan terpaksa menjadi sebab bolehnya memakan bangkai dan tergelincir atau tenggelamnya matahari sebagai sebab wajibnya shalat.
2.   Sebab yang berada dalam kesanggupan mukalaf. Sebab ini dibagi 2:
(a). Yang termasuk dalam hukum taklifi, seperti menyaksikan bulan menjadikan sebab wajib melaksankan puasa (QS Al-Baqarah (2):185). Begitu juga keadaan sedang dalam perjalanan menjadi sebab boleh tidaknya berpuasa di bulan Ramadhan (QS Al-Baqarah (2):185).
(b). Yang termasuk dalam hukum wadh’I seperti  perkawinan menjadi sebabnya hak warisan antara suami istri dan menjadi sebab haramnya mengawini mertua, dsb.
b. Syarat
Syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut , dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum. Misalnya: wajib zakat barang perdagangan apabila usahnya sudah berjalan satu tahun  tapi belum terpenuhi maka zakat itu belum wajib.
      Ulama Ushuliyyin membagi syarat kedalam beberapa bagian:
1.      Syarat hakiki (syar’i), yaitu segala pekerjaan yang diperintahkan sebelum mengerjakan yang lain dan pekerjaan itu tidak diterima (sah) bila pekerjaan pertama tidak dilakukan. Misalnya: wudhu menjadi syarat sahnya shalat. Syarat hakiki ini di bagi menjadi 2 lagi yaitu:
(a)    Syarat untuk menyermpunakan sebab. Misalnya; adanya unsur kesengajaan dan permusuhan adalah dua syarat bagi pembunuhan yang menjadi sebab wajibnya hukum qishas.
(b)   Syarat untuk menyermpunakan musabbab. Misalnya, bersuci adalah syarat utama penyermpunaan shalat yang wajib disebabkan telah masuknya waktu shalat.
2.      Syarat ja’li, yaitu segala syarat yang dibuat oleh orang-orang yang mengadakan transaksi dan dijadikan tempat bergantungnya serta terwujudnya transaksi tersebut. Misalnya, seorang pembeli membuat syarat bahwa ia mau membeli suatu barang dengan syarat dengan cara mencicil. Bila diterima oleh penjual maka dapat dilakukan.
  c. Mani’
                      Mani’ adalah segala sesuatu yang dengan adanya dapat meniadakan hukum atau dapat membatalkan sebab hukum. Mani’ dibagi menjadi 2, yaitu:
1.      Mani’ terhadap hukum. Misalnya, perbedaan agama antara pewaris dengan yang akan diwarisi adalah mani’ (penghalang) hukum pusaka mempusakai sekalipun sebab untuk saling mempusakai suda ada, yaitu perkawinan.
2.      Mani’ terhadap sebab hukum. Misalnya, seseorang yang memiliki harta senisab wajib mengeluarkan zakatnya. Namun karna ia mempunyai utang yang jumlahnya sampai mengurangi nisab zakat ia tidak wajib membayar zakat, karna hartanya tidak cukup nisabnya.
d. Sah dan Batal
                        Secara harfiah, sah berarti “lepas tanggung jawab” atau “gugur kewajiban di dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat”. Shalat telah dikatakan sah setelah dilaksanakan sesuai syara’ dan begitu sebaliknya gugur, apabila tidak sesuai syara’.
                     Kemudian dalam ibadah muamalah dikenal adanya perjanjian batal dan fasid. Perjanjian batal adalah perjanjian yang rukun dan syaratnya kurang, sedangkan fasid adalah perjanjian yang tidak sempurna syaratnya.. Perjanjian jual-beli yang dilakukan oleh orang gila atau anak ynag belum baligh ataupun memperjualbelikan sesuatu yang tidak dinamakan perjanjian dinamakan perjanjian yang batal.
e. Azimah dan Rukhsah
1. Pengertian Azimah
                          Azimah adalah peraturan-peraturan Allah yang asli dan terdiri atas hukum-hukum  yang berlaku umum.   Misalnya: bangkai adalah haram dimakan oleh semua orang. Ketentuan ini juga disebut dengan hukum pokok.
      2. Pengertian Rukhsah
                             Rukhsah adalah peraturan-peraturan yang tidak dilaksanakan karna adnya hal-hal yang membertakan dalam menjalankan azimah. Dengan kata lain, pengecualian hukum-hukum pokok (azimah) sebagaimana disebut sebelumnya.
3. Hukum Azimah dan Rukshah
                             Selama tidak ada hal-hal yang menyebabkan adanya rukhshah seorang mukalaf diharuskan mengambil azimah, karn memang begitulah ketentuan dari Allah dalam mensyariatkan ketentuan-ketentuan pokok dari Allah dan mensyariatkan peraturannya. Dan begitupun sebaliknya. Misalnya, apabila seseorang dalam keadaan terpaksa harus memakan bangkai, sedang hal itu haram hukumnya, maka dengan sendirinya hukum rukhshas tersebut adalah Mubah (QS Al-Baqarah: 173)
4. Maksud Rukhshas
Rukhshas diberikan oleh syar’i sebagai  keringanan bagi mukalaf sehingga mereka bebas memilih antara azimah atau rukhshah. Namun adakalanya pula rukhshah diwajibkan melaksanakannya apabila berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan lain. Misalnya, memakan daging babi merupakan rukhshas dalam keadaan terpaksa. Artinya, memakan babi dalam hal ini untuk memelihara jiwa maka diwajibkan. Oleh karna itu, rukhshas dalam hal ini berubah menjadi azimah, yaitu wajib menyelamatkan diri dari kehancuran atau haram membiarkan diri jatuh pada kecelakaan.   
5. Macam-macam Rukhshas
                        Ulama ushul fiqh mengelompokkan rukhshas kepada 4 bagian:
a.  Pembolehan sesuatu yang dilarang (diharamkan) dalam keadaan darurat atau karena hajat yang sangat mendesak sebagai keringanan bagi mukalaf. Misalnya, barangsiapa yang dipaksa mengucapkan kata-kata yang mengafirkan, dibolehkan baginya mengucapkan kata-kata tersebut selama hatinya tetap beriman kepada Allah (QS Al-Nahl (16): 106).
b. Pembolehan meninggalkan yang wajib karna uzur, dimana jika melaksankan kewajiban itu akan menimbulkan kesulitan bagi si mukalaf. Misalnya. Orang sakit atau sedang dalm berpergian dibolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadhan (QS Al-Baqarah (2): 184)
c.  Pemberian pengecualian sebagian berkaitan karna menyangkut kebutuhan masyarakat dalam perikehidupan muamalat (sehari-hari). Misalnya, transaksi jaul-beli yang belum ada pada saat perikatan diadakan, tapi harganya sudah dibayar terlebih dahulu. Seperti hadis Nabi yang mengatakan “Rasul melarang manusia menjual sesuatu yang ada bersamanya disaat transaksi, namun beliau member dispensasi untuk jual-beli pesanan”.
d.    Pembatalan hukum-hukum yang merupakan beban yang memberatkan bagi umat terdahulu, misalnya: memotong bagian kain yang kena najis, mengeluarkan zakat seperempat harta, tidak boleh shalat selain di mesjid, dsb. Semua itu tidak wajib, karna ada Rukhshas.  (QS Al-Baqarah (2):286)
3.      Perbedaan antara Hukum Taklifi dengan Hukum Wadh’I
a.       Dilihar dari sudut pengertiannya, hukum taklifi adalah hukum Allah yang berisi tuntutan-tuntutan untuk berbuat atau tidak suatu perbuatan, atau membolehkan memilih antara berbuat dan tidak. Sedangkan hukum Wadh’I tidak mengandung tuntutan atau member pilihan, hanya menerangkan sebab atau halangan (mani’) suatu hukum, sah, dan batal.
b.      Dilihat dari sudut kemampuan mukalaf untuk memikulnya, hukum taklifi selalu dalam kesanggupan mukalaf, baik dalam mengerjakan atau meninggalkannya. Sedangkan hukum wadh’I kadang-kadang dapat dikerjakan (disanggupi) oleh mukalaf dan kadang-kadang tidak. 














BAB III
SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

1.      AL-QUR’AN      
a.       Pengertian dan Tujuan Diturunkannya Al-Qur’an
            Alquran ialah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw dengan perantara Jibril, berbahasa Arab, dan dinukilkan kepada kita semua secara Mutawatir.
            Disamping memberi petunjuk kepada umat manusia tentang mana yang baik dan yang buruk, Alquran juga diturunkan untuk membebaskan umat manusia dari semua perbuatan dan pikiran yang deskrutif lainya, sehingga manusia dapat melibatkan diri dalam problema-problema social yang riil dan didalam perkembangan humanisme.       
            Salah satu keistemewaan Alquran adalh bahwa lafaz dan maknanya langsung dari Allah Swt. Alquran memaparkan kebenaran yang universal yang berkaitan dengan masalah hubungan manusia dengan manusia (habluminannas) maupun hubungan dengan Sang Khaliq (habluminallah) dengan bahasa yang mudah dimengerti.
            Sebagai wahyu Allah yang disampaikan kepada manusia secara pasti (qath’i), yang tidak ada keraguan sedikitpun didalamnya, ketentuan hukum Alquran wajib ditaati dan dijadikan pedoman untuk kehidupan dunia dan akhirat.
b.      Kemukjizatan Alquran
Mu’jizat berasal dari kata Arab (I’jaz) yang berarti “membuat suatu hal yang luar biasa yang berada di luar kesanggupan manusia untuk memperbuatnya.”
Al’Zarqani berpendapat bahwa mu’jizat alquran adalah sesuatu yang dapat melemahkan manusia atau makhluk lainnya.
Alquran merupakan mu’jizat terbesar yang diberikan kepada nabi Muhammad saw.
Ulama melihat mu’jizat Alquran tersebut dari berbagai segi, yaitu:
1.   Dari segi bahasanya
                Alquran memiliki gaya bahasa yang sangat tinggii, makna yang dalam, dan susunan kata yang amat mengagumkan. Hal ini membuat kagum para ahli sastra Arab, sampai mereka menuduh nabi Muhammad sebagai tukang sihir, yang menyihir mereka melalui untaian kata-kata yang indah dalam rangkaian ayat Alquran tersebut. Padahal,sebelumnya meremka mengakui bahwa Nabi adal orang yang terpercaya dalam kalangan Arab, Al-amin.
               Contohnya terdapat pada pribadi Umar bin khattab yang luluh hatinya tatkala mendengar ayat-ayat Alquran itu dibacakan oleh adiknya sendiri. Begitu meresapnya kedalam hati beliau, membuatnya menangis dan akhirnya masuk islam.
2.    Dilihat dari kandungan isinya
               Alquran banyak mengandung berita-berita tentang hal ghaib, seperti syurga, neraka, hari kiamat, hari pembalasan, dsb.
               Alquran juga banyak memuat ayat-ayat tentang peristiwa atau beberapa prediksi masa depan.Teatapi tidak sam dengan tukang ramal kebnyakan, yang tidak terjamin kebenarannya. Sedangkan Alquran adalh benar ramalannya dan muncul menjadi kenyataan. Seperti dalam QS. Al-Rum (30): 1-3.
               Dari segi ilmu pengetahuan juiga banyak terdapat fakta tentang kejadian manusia maupun preoses pertumbuhannya, kemudian mengenai perjalanan matahari, dan kejadian alam lainnya.
               Selain itu, khusus tentang hukum-hukum yang dikandungnya ternyata ketentuan-ketentuan Alquran senantiasa cocok dengan perkembangan zaman. Untuk semua keistimewaan itu, Alquran memberikan tantangan kepada manusia dengan membuat tandingan yang serupa, baik satu surat, sepuluh surat, atau surat-surat tertentu yang setara, Namun tidak ada satu makhlukpun yang mampu melakukannya.
c.       Alquran dalam hal menjelaskan hukum
Sebagai sumber utama hukum islam, alquran memuat pokok-pokok permasalahan yang menyangkut kebutuhan umat manusia. Alquran menjelaskan dasar-dasar hukum secara terperinci dalam lapangan aqidah, tapi dalam lapangan ibadah dan muamalah hanya diberikan petunjuk-petunjuknya secara garis besar.
Keumuman Alquran dalam menjelaskan hukum-hukumnya masih membutuhkan penjelasan dari hadis nabi. Karna lafaz alquran kadang-kadang zhanny (dugaan yang kuat) dan adakalanya qath’I (jelas dan kuat). Maka, kata-kata Qur-un, misalnya, dapat diartiakn suci atau haid dan sebagian ulama menguatkannya dengan makna suci. Ini pula salah satu factor yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam menetapkan hukum. Alquran dalam menjelaskan hukumnya menggunakan sighat yang berbeda yaitu sighat amar dan sighat nahy.
Secara garis besar penjelasan Alquran dalam masalah hukum dibagi menjadi 3, yaitu:
1.      Penjelasan yang sempurna dan hadis menguatkan, seperti QS. Al-Baqarah (2): 185
2.      Alquran menjelaskan hukumnya secara ijma’ dan hadis menjelaskannya, seperti perintah shalat. Nabi menjelaskan dengan hadis beliau: “Shalatlah sebelum kamu dishalatkan.”
3.      Dengan isyarat atau ibarat , QS Al-Nisa (4): 25. Ayat ini memberi isyarat bahwa ganjaran atau ‘iqab bagi budak apabila ia melakukan perbuatan fahisyah adalah separuh dari ganjaran atau iqab perempuan yang merdeka.
Dengan demikian, penjelasan Alquran tentang hukumnya ada yang tidak memerlukan penjelasan seperti ayat-ayat had qazaf, ayat li’an, ayat waris, dll. Adapula ynag memerlukan penjelasan karna dia bersifat mujmal, memerlukan tafsir atau ta’wil, atau mutlak memerlukan taqyid.
d.      Macam-macam Hukum dalam Alquran
Alquran diturunkan secara berangsur-angsur selama tahun kenabian, yaitu 22 tahun 2 bulan dan 22 hari atau ± 23 tahun. Dan diturunkan dalam dua fase, yaitu mekkah dan madinnah.  
Ayat-ayat Alquran yang ditunkan di mekkah tentang masalah-masalah keimanan dan ayatnya pendek-pendek, sedangkan yang tutun di Madinnah berisi masalh hukum dan biasanya panjang.
Hikmah diturunkannya ayat secara berangsur-angsur adalah agar hukum-hukum Alquran menjadi tetap dan dikuasai oleh nabi dan manusia serta mudah menghafalnya. (QS Al-Furqan (25): 32)
Alquran mengandung 3 kategori dalam hal hukum. Hukum I’tiqaditah, yaitu hukum yang wajib diimani, iman kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, dan hari akhir. Hukum akhlak, yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah etika dan moral. Hukum ‘amaliyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dibutuhkan oleh umat manusia dan masyarakat sepanjang masa.
Hukum ‘amaliyah terbagi kepada 2 bagian :
1.      Hukum ibadat, yaitu hukum yang diisyaratkan untuk mengatur hubungan antara hamba dan Khaliqnya
2.      Hukum Muamalat, yaitu hubungan antara sesame manusia, baik secara pribadi maupun masyarakatnya.
Hukum muamalat, dibagi lagi menjadi 7 bagian, yaitu:
1.      Hukum Al-ahwal al-syakhshiyah: hukum yang berhubungan dengan masalah pribadi mulai dari semenjak lahir sampai meninggal. Seperti: nikah, cdrai, nafkah, wasiat, pusaka, dll. Sebanyak 70 ayat.
2.      Hukum Madiyah: hukum tentang masalah kebendaan atau transaksi, seperti: jual-beli, sewa-menyewa, agunan (jaminan), perseroan, dll. Sebanyak 70 ayat.
3.      Hukum jinayah: hukum tentang masalah tindak pidana beserta sanksinya dan dimaksudkan untuk memelihara manusia, kehormatan, dan benda. Sebanyak 13 ayat.
4.      Hukum murafaat: hukum acara yaitu hukum yang rapat sekali dengan peradilan, persaksian, bukti-bukti, sumpah, dsb.  Sebanyak 13 ayat.
5.      Hukum Dusturiyah: hukum perundang-undangan yang mengatur hubungan antara rakyat dengan pemerintah asas dan cara pembuatan UUD. Sebanyak 10 ayat.
6.      Hukum Duwaly: hukum yang mengatur hubungan pemerintah islam dengan Negara lainnya. Sebanyak 25 ayat.
7.      Hukum iqtishadiyah dan maliyah: hukum ekonomi yang mengatur hubungan antara orang kaya dan orang miskin, antara pemerintah dan warga Negara, dll. Sebanyak 10 kali.
2. AL-HADIST    
a.    Pengertian Hadis
Hadis adalah segala sesuatu yang dirujuk/disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya dan mengaitkannya dengan hukum.
Hadis adalah sumber hukum islam yang kedua, berfungsi sebagai penjelas nash yang masih dalam bentuk garis besar, membatasi keumuman nash tersebut, atau menetapkan hukum yang belum nyata-nyata disebut dalam Alquran.
b.   Perbedaan antara Alquran dan Sunnah
Diantara perbedaan Alquran dan hadis adalah dari segi uslub-uslubnya. Uslub yang digunakan dalam Alquran mengandung kefasihan, ketinggian balaghahnya, dan kekuatan makna-maknanya.  Sunnah dengan kalimat yang sedikit dapat mencakup beberapa bagian permasalahan yang lain. Uslub-uslub sunnah mempunyai nilai yang tinggi apabila dibandingkan dengan uslub bahasa Arab lainnya.
Perbedaan lainnya dari segi lafaz dan maknanya. Jika lafaz dan makna Alquran berasal dari Allah Swt, sedangkan lafaz Sunnah adalah dari nabi sendiri. Dan juga dari segi dalalahnya. Alquran dari segi wurudnya adalah qath’I semua karna ia disampaikan kepada manusia oleh seorang nabi yang ma’sum. Dari sisi dalalahnya adakalanya zhanny atau qath’I.
Adapun Sunnah, tergantung sanad-sanadnya, apabila ia Sunnah mutawatir, maka qath’I wurud-nya, tapi apabila zhanny wurud-nya sanadnya “lemah”. Demikian pula dari segi dalalahnya, adakalanya qath’I atau zhanny. Tegasnya Alquran semuanya qath’iul wurud, sedangkan hadis hanya yang mutawatir yang qath’iul wurud.
c.    Kehujjahan Sunnah serta Fungsinya Terhadap Alquran
            Segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya dengan sanad yang shahih, memfaedahkan qath’I atau zhanny, dan kebenarannya adalah hujjah (dalil) bagi kaum muslimin. Ia dipandang sebagai sumber tasyri’ sebagaimana halnya Alquran wajib diikuti.
            Sunnah dilihat dari segi perhubungan sanadnya, terbagi menjadi 3, yaitu:
1.      Mutawatir, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh jamaah yang tidak terbatas bilangan mereka (sehingga tidak mungkin berdusta) hingga sanadnya bersambung kepada Nabi Saw.
2.      Masyhur, yaitu hadis yang diriwayatkan dari nabi oleh seorang atau 2 orang lebih dari sahabat maupun dari kalangan nabi.
3.      Ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau 2 orang lebih, tapi tidak sampai memenuhi syarat seperti hadis masyhur.
Sunnah mutawatir memfaedahkan yakin  atau qath’I. Hadis masyhur memfaedahkan yakin atau kehujjahan hadis masyhur hanyalah zhanny, begitupula dengan hadis ahad.
Fungsi sunah terhadap Alquran dibagi 3 bagian:
1.      Menta’kidkan atau menguatkan hukum-hukum yang terdapat dalam Alquran, seperti: shalat, puasa, zakat, haji, dsb.
2.      Menjelaskan atau menfsirkan hukum-hukum yang terdapat dalam Alquran. Mentakhshishkan yang umum, mengqayyidkan yang muthlaq, menjelaskan yang samar-samar, dan menguraikan yang mujmal.
3.      Mendatangkan hukum-hukum yang tidak terdapat dalamAlquran.
d.      Sunnah dalam hal yang menjelaskan Hukum.
Dilihat dari segi diterima atau ditolaknya, Sunnah dibagi dalm 4 bagian, yaitu:
1.   Sunnah yang tidak boleh ditolak. Orang dihukum kafir dan disuruh bertobat apabila menolaknya. Yaitu hadis yang dinukilkan kepada Nabi secara mutawatir, seperti hukum khamar, perintah adzan, menghadap Ka’bah, dll.
2.   Sunnah yang telah diakui kesahihanya dan penakwilannya oleh ulama hadis, seperti hadis syafaat, rukhya, azab kubur, dsb, yang diriwayatkan dengan jalan mutawatir.
3.   Sunnah yang diharuskan kita meyakininya dan mengamalkanya walaupun tidak diterima oleh sebagian ahli sunnah, seperti hadis menyapu 2 sepatu.
4.   Sunnah yang diharuskan kita mengamalkannya, tapi tidak harus meyakininya.
Contoh lain adalah perintah wudhu yang terdapat dalam Alquran (QS Al-Maidah (5):6) tidak menjelaskan berapa kali membasuh muka dan anggota tubuh lainya. Maka Sunnah menjelaskan bahwa adakalanya nabi berwudhu satu kali dan adapula yang tiga kali.

3. IJMA
a.    Pengertian Ijma
Ijma adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa sepeninggal Nabi Muhammad Saw tentang suatu hukum syar’I mengenai suatu peristiwa tertentu.
Peristiwa atau masalah-masalah hukum yang dihadapi umat islam tidak terjadi hanya pada masa Rasulullah saja, tetapi sepeninggal Nabipun masalah yang muncul semakin banyak dan tumbuh seiring perkembangan masa. Karena itu, alternative lain yang ditempuh adalah dengan menentukan hukum dari ssetiap peristiea dengan melalui jalan ijtihad yaitu keputusanm bersama para mujtahid atau ulama. Dan menjadi dalil ketiga sebagai sumber hukum islam.
b.   Hakikat Ijma dan Kemungkinan terjadinya
            Adapun hukum-hukum yang yang belum diatur dalam Alquran dan Al-hadis, maka diserahkan pengaturannya kepada manusia melalui kajian yang mendalam, baik secara qiyas-ijtihad maupun secara ijma.
            Realisasi Ijma pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar dan Umar hanya pada sebatas pemusyawaratan dikalangan ulama-ulama sahabat dalam menghadapi suatu masalah. Sehingga dipandang dapat mewakili rakyata atas dasar perintah kepala Negara.
            Dapat disimpulkan bahwa ijma sahabat telah terjadi dan dipandang sebagai dalil hukum, karna mereka masih sedikit dan bertempat tinggal pada satu daerah. Adapun ijma sesudah sahabat diperselisihkan adanya. Namun, ijma dalam pengertian berkumpulnya para ahli yang bermusyawarah atas prakarsa pemerintah dan mereka semua sepakat atas suatu hukum mungkin saja terjadi.
c.       Kehujjahan Ijma dan Hukum mengingkarinya
Setelah penetapan ijma sebagai dalil dalam menyelesaikan masalah, maka hukum ijma tersebut menjadi hukum syara’, wajib mengikutinya, dan tidak boleh menyalahinya.
Kebanyakan kitab ushul fiqh menetapkan ijma diatas Kitabullah dan Sunnah Rasul karna ijma ini bersendikan Kitabullah dan Sunnah dan mempunyai ketentuan hukum melebihi hukum yang ditunjuk oleh nash sebelum disepakati menerimanya. Ijma terhadap kandungan nash, meningkatkan nash tersebut kepada tingkatan qath’iyyah apabila dinukilkan secara mutawatir , tidak boleh ditolak,  bahkan dikafirkan bagi yang menolaknya.
Salah satu alasan dalil ijma sebagai dalil syara’ adalah dalam firman Allah swt yang terdapat lafaz al-amri, yaitu mengandung dua pengertian yakni al-amr berhubungan dengan agama (menurut para ahli fatwa) dan al-amr yang berhubungan dengan dunia (menurut para kepala Negara). Apabila telah disepakati loeh Ulil Amri atau para mujtahid tentang suatu hukum wajib mengikutinya dan melaksanakanya. Kehujjahan ijma juga ditegaskan oleh Nabi dalam hadisnya, yang artinya: “ Umatku tidak akan bersama-sama (berkumpul) dalam kesalahan.” Dan hadis lainya, yang artinya: “Apa yang dilihat seorang muslim itu baik, maka…”
d.      Tingkat-tingkat Ijma
Dilihat dari segi cara terjadinya, ijma terbagi dalam 2  bagian, yakni:
Ijma sharih ialah bila semua mujtahid mengeluarkan pendapat-pendapatnya, baik dengan perkataan maupun dengan tulisan, yang menyatakan persetujuannya atas pendapat yang telah diberikan oleh seorang mujtahid masanya.
Ijma sukuty ialah diamnya sebagian ulama mujtahid atas pendapat ulama mujtahid lainya dalam menerima atau menolak pendapat tersebut dan diamnya itu bukan karna takut, segan, atau malu.
Bentuk yang pertama adalah ijma yang sebenarnya (haqiqi) dan menjadi hujjahb (dalil) agama menurut mazhab jumhur ulama tidak dapat dijadikan sebagai hujjah agama. Jadi, apabila salah seorang ulama menetapkan suatu hukum tentang suatu perkara atau masalah, maka berlaku pula tempo yang diperlukan untuk mengetahui apakah berdiam diri orang yang lain karna ada sesuatu sebab, setelah itu tidak ada satu orangpun yang  menyalahinya, maka dipandanglah berdiam diri itu sebagai menyetujui dan dinamakan ijma sukuty.
Namun ada sebagian ulama yang mengatakan diamnya menjadi hujjah, tapi tidak dipandang sebagai ijma, begitupun sebaliknya.
Dilihat dari segi dalalahnya, ijam terbagi menjadi 2 bagian pula. Pertama, ijma qath’I dalalah, yaitu ijma yang sharih. Artinya hukumnya telah tetap, tidak boleh menyalahinya, dan tidak boleh lagi ada ijtihad diatasnya. Kedua, ijma zhanny yakni ijma sukuty, artinya hukumnya masih bersifat  zhanny dan masih dapat dilakukan ijtihad diatasnya.
e.       Ijma Seluruh Umat dan Ijam Sebagian Umat 
      Ijma merupakan kesepakatan seluruh umat islam dan adapula sebagian umat saja. Ijma seluruh umat yaitu setelah wafatnya Rasulullah Saw pada suatu masa dan tentang suatu hukum. Dan dipandang sebagai ijma tingkat pertama.
      Ijma sebagian umat adalah ijma sahabat. Ini berarti penyesuaian pendapat semua ulama sahabat terhadap suatu hukum atas suatu kkejadian.

4. AL-QIYAS
a.    Pengertian Qiyas
         Menurut istilah dalam Ushul Fiqh, Qiyas diartikan sebagai upaya menghubungkan (menyamakan) hukum dari suatu peristiwa yang belum ditentukan hukumnya dalam nash dengan hukum dari suatu peristiwa lain yang hukumnya  disebutkan oleh nash. Penghubung (penyamaan) hukum tersebut didasarkan atas kesamaan illat antara dua peristiwa yang bersangkutan. Salah satu contoh dari penetapan dengan jalan qiyas adalah melakukan transaksi bisnis disaat azan jumat dikumandangkan (QS Al-jumuah (62): 9). Larangan tersebut secara tegas dan disebut secara nyata dalam nash dengan illat bahwa perbuatan tersebut melalaikan sembahyang.
b.   Hakikat Qiyas
         Para ulama sebelumnya telah membahas tentang ra’yu salah satunya adalah Imam Syafi’i, tapi tidak memberika batasan-batasan, dasar-dasar penggunaanya, dan penentuan tentang norma-norma ra’yu yang shahihdan yang tidak. Beliau menentukan kaidah-kaidah dan menggunakan criteria-kriteria bagi suatu istinbath yang salah dan beliau juga menjelaskan macam-macam istinbath yang lain yang dipandang salah kecuali qiyas. Oleh karna itu, beliau memandang Qiyas dan ijtihad adalah dua nama yang mempunyai makna satu.
         Dengan demikian, hakikat dari Qiyas adalah memperluas dan mengembangkan hukum yang sudah ada ketentuannya secara jelas dalam nash atau masalah lain yang belum ada ketentuan nash nya. Juga berarti mengamalkan nash tersebut. Jadi, dapat dikatakan juga bahwa qiyas merupakan penafsiran terhadap maksud sesuatu nash, tapi bukan berarti penambahan terhadap kententuan hukum yang terdapat dalam nash tersebut.
c.    Kehujjahan Qiyas
           Dalil-dalil tentang kehujjahan qiyas dapat diperoleeh melalui Alquran, Sunnah, Perkataan atau perbuatan sahabat, atau dengan pemikiran. Firman Allah, (QS Al-Nisa (4): 59). Yang artinya “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul (Nya), dan Ulil Amri diantara kamu. Jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan persoalan kepada Allah dan Rasul-Nya.”
           Hadis lainnya adalah, “Hadis Muadz bin Jabal: Sesungguhnya Rasulullah ketika mengutusnya ke Yaman, beliau berkata kepadanya: Bagaimana kamu memutuskan suatu perkara? Muadz menjawab, “Aku memutuskan dengan Kitab Allah.” Jika tidak ada dalam kitab, maka dengan Sunnah Rasulullah, jika tidak ada dalam Sunnah, aku akan berijtihad dengan akal pikiranku.” Maka Rasulullah menepuk dada Muadz dan berkata: “ Segala puji bagi Allah.” Dengan demikian, qiyas adalah salah satu hujjah syara’ pada tempat-tempat yang tidak diperoleh ketentuan suatu hukum dari Alquran maupun Hadis Nabi.
           Jelaslah bagi kita bahwa qiyas merupakan salah satu hujjah agama yang ditetapkan dengan kitab Allah, Hadis Nabi, Praktik sahabat, maupun berdasarkan pada pemikiran.
d.   Rukun Qiyas dan Syarat-syaratnya
           Rukun qiyas dibagi menjadi 4 bagian, yang pertama, Maqis’ alaih, yakni sesuatu yang telah dinashkan hukumnya. Ini dinamakan dengan ashal. Dia merupakan sumber yang menjelaskan hukum tentang masalah yang dikiaskan kepada furu’ (cabang).
           Kedua, maqis, yakni sesuatu yang dihubungkan atau yang dipersamakan degan ashal dan dinamakan furu’. Furu’ ini disyaratkan tidak ada nash yang menjelaskan hukumnya karna qiyas hanya berlaku pada sesuatu yang tidak ada nash dengan sesuatu yang  ada padanya nash.
           Ketiga, hukum, yaitu hukum yang terdapat pada nash atau ashal dan diisaratkan dengan syarat, diantaranya :
1.      Hukum itu adalah hukum syara’ yang amaliah.
2.      Hukum itu ma’bul ma’na., seperti haramnya khamar dan judi. Dengan demikian, tidak ada qiyas pada hukum yang ta’abbudi karna asas qiyas adalah mengetahui illat hukum yang taaqquli.
3.      Hukum tersebut bukan merupakan hukum pengecualian (istina) atau hukum karna rukhshas.
4.      Hukum ashal bukanlah merupakan hukum yang khusus untuk suatu kejadian tertentu.
           Adapun rukun keempat, illat, yaitu sesuatu yang ditetapkan atasnya hukum ashal dan dihubungkan atau dipersamakan hukum tersebut dengan furu’. Illat ini diisaratkan dengan syarat, diantaranya :
1.      Illat tersebut haruslah merupakan sifat yang jelas.
2.      Illat tersebut dhabit. Artinya illat tersebut tidak melakukan kesalahan berkaitan dengan suatu pribadi, keadaan, maupun tempat.
3.      Tetap berhubungan antara hukum dan sifat yang dipandang sebagai illat, seperti pembunuhan adalah illat yang berhubungan terhalangnya seseorang dalam waris mewarisi karna asas dalam pewarisan adalah hubungan antara pewaris dengan yang menerima waris.
4.      Illat tersebut tidak bertentangan dengan nash yang lain.
e.    Persesuaian antara Hukum dan Illat
           Hukum dan illat qiyas dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:
1.   Al-munasib al-muatsir, yaitu suatu sifat yang berhubungan dengan hukum syara’ dan ditetapkan dengan nash maupun ijma. Sedangkan illat hukumnya diperhatikan dari segi ‘ain atau zatnya. ( QS Al-Baqarah (2): 222), hukum dalam ayat ini adalah menjauhi wanita pada waktu haid  ditetapkan dengan nash.
2.   Al-munasih al-mulaim, yaitu sesuatu yang tidak ada dalil syara’ yang menunjukan bahwasanya yang dipandang sebagai illat adalah dari segi ‘ain / zatnya.  Umpamanya, dalam perkawinan karna ia merupakan satu jenis dari kekuasaan atas harta. Kesimpulannya, sesuatu yang ditetapkan kekuasaan wali atas hartanya, ditetapkan pulalah kekuasaan wali atas dirinya.
3.   Al-munasih al-mursal, yaitu sesuatu yang tidak ada petunjuknya dari nash syara’ tentang illat, baik yang menolak maupun yang memandangnya sebagai illat.
4.   Al-munasib al-mulgha, yaitu sesuatu yang sudah jelas ditetapkan hukum atas kemaslahatannya, tapi ada dalil yang menunjukan atas tertolaknya (lagha) atau tidak dipandang sebagai illat.  Misalnya, menyamakan anak laki-laki dan perempuan dalam soal al-qarabah karna bersamaan keduanya dalam hal waris. 
f.    Masalikul ‘Illat
Cara-cara untuk mengetahui illat, ada 3 macam:
1.      Dengan Nash Itu Sendiri
2.      Dengan Ijma
3.      Dengan al-Sabru wa al-Taqsim (Meniliti dan Memisah-misahkan)
g.   Pembagian Qiyas
            Dari segi tingkatannya, terbagi dalam beberapa bagian, yaitu:
1.      Qiyas aula, yakni qiyas yang illat pada furu’ lebih kuat daripada illat yang terdapat pada ashal. Seperti, larangan memaki orangtua.
2.      Qiyas Musawi, yaitu qiyas yang illat bersamaan antara kedua-duanya dalam kepatutan dalam menerima hukum tersebut. Seperti, mengqiyaskan budak perempuan kepada budak laki-laki dalam menerima separuh hukuman.
3.      Qiyas Adna, yaitu mengqiyaskan sesuatu yang kurang patut menerima hukumanya kepada sesuatu yang memang patut menrima hukumnanya. Seperti, mengqiyaskan haramnya perak bagi laki-laki kepada haramnya laki-laki memakai emas. Yang menjadi illatnya adalah bersifat memegahkan diri.
4.      Qiyas Syabah, yaitu qiyas yang menjadi illatnya hanyalah penyerupaan. Seperti, seorang budak apabila merusak sesuatu, maka ia dalam membayar denda terletak antara manusia merdeka (karna ia anak Adam) dan sebagai binatang (karna ia dipandang sebagai benda). Karna dia dapat dijual, dipusakakan, dan diwakafkan.
Adapun qiyas yang lain adalah: qiyas illah, jail, khafi, dan muatsir.

1.   Istihsan
     Dari segi bahasa, istihsan berarti “menganggap baik sesuatu hal. Sedangkan menurut istilah, “Meninggalkan qiyas yang nyata (jali) untuk menjalankan qiyas yang tidak nyata (khafi), atau berpindah dari hukum kulli kepada hukum istisna (pengecualian) karna ada dalil yang menurut logika memperbolehkannya. Pada qiyas terdapat dua kasus sedangkan istihsna hanya ada satu kasus.
2. Istishlah
         Istishlah atau biasa disebut al-mashalih al-mursalat adalah suatu kemaslahatan yang tidak disebut oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil yang menyuruh mengerjakan atau meninggalkannya, padahal kalau dikerjakan ia akan member kebaikan atau kemaslahatan dalam masyarakat. Misalnya, mengadakan lembaga pemasyarakatan (penjara) dan mencetak mata uang sebagai alat pembayaran atau penukaran yang syah dari suatu Negara, dsb.
3. ‘Urf
‘Urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat yang merupakan kebiasaan dikalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ulama menyamakan ‘urf dengan adat. Seperti, transaksi jual-beli.
4.      Istishhab
Berdasarkan istilah berarti menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, Lukman menikahi Aini secara syah dan mereka hidup sebagai suami istri beberapa lamanya. Oki, mungkin merantau dsb, lukman meninggalkan Aini dan tidak memberi kabar  selama 10tahun. Dikampung, aini tinggal dengan otangtuanya tanpa mengetahui statusnya, bercerai atau tidak. Disisi lain, Jusman berhasrat untuk menikahi Aini . Pernikahan Jusman dan Aini dapat dilakukan karna Aini secara yuridis berstatus sebagai istri Lukman.  Oki, Aini tetap berstatus sebagai istri Lukman, sampai ada kepastian cerai dari pengadilan dan menjadikan Aini tidak lagi berstatus sebagai istri Lukman.
5.      Syar’u man Qablana
Syar’u man Qablana adalah syariat yang dibawa oleh para Rasul sebelum Muhammad yang menjadi petunjuk bagi kaumnya. Seperti, syariat Nabi Ibrahim, Musa, Isa, dsb.
6.      Sad al-Zari’ah
Secara harfiah, terdiri dari dua kata: sad yang artinya penghalang atau sumbat, dan Zari’ah yang artinya jalan. Secara istilah, berarti upaya menghambat  atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat. Seperti, melarang laki-laki dan perempuan berduaan ditempat yang sepi karna dikhawatirkan terjadinya perzinaan.
7.      Qaul Shahabi
Perkataan sahabat yang bukan berdasarkan pikiran (ijtihad) mereka semata adalah hujjah (dasar hukum) bagi kaum muslimin, karna tentu berasal dari perkataan rasul yang didengar.
E.     Taklif Sebelum Datang Seruan Rasul
      Ada beberapa pendapat yang berbeda tentang Taklif sebelum datangnya Rasul, yaitu :
1.      Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa sebelum Rasul diutus, Allah yang memberi tahu manusia tentang hukum-hukum Allah. Berdasarkan akal, manusia dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk. Mereka berpendapat bahwa melalui akalnya manusia dapat mengetahui adanya Tuhan dan untuk itu mereka wajib berterima kasih kepada-Nya atas segala nikmat yang telah diberikan kepada mereka. Dan mendapatkan hukum, apabila tidak berterima kasih.
2.      Kaum Asy’syariah berpendapat bahwa tidak ada hukum terhadap perbuatan manusia, sebelum seruan rasul sampai kepada mereka. Maksudnya, beban taklif itu hanya dapat diketahui oleh seruan Rasul melalui wahyu.  
              
 

      




BAB IV
KAIDAH-KAIDAH PENGAMBILAN HUKUM (KHUSULIAH)

A.    AL-AMRU dan AN NAHNU
1.      Al Amru
a.       Pengertian Al Amru
Al Amru artinya menurut bahasa adalah perintah, suruhan, tuntutan.
Menurut istilah, yaitu Satu tuntutan untuk mengerjakan (atau berbuat sesuatu) dari juruan yang lebih tinggi terhadap yang lebih rendah.
Contoh, Seorang bapak menyuruh anaknya membersihkan kamar. Dalam hal ini, kedudukan ayah lebih tinggi dari anak.
b.      Beberapa tentang Al Amru
Kaidah ke-1: “ Pada asalnya (setiap) perintah itu menunjukan hukum wajib.”
Kaidah ini diterima oleh jumhur ulama, alasannya karna dalil akal dan nakal.
-          Dalil akalnya, adalah bila seorang tuan memerintah hambanya, dan hambanya itu tidak mematuhi, maka tuan akan memberi sanksi atau hukuman. Ini menunjukan bahwa perintah adalah wajib ditaati.
-          Dalil nakal, firman Allah yang artinya, “ Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah rasul takut akan ditimpa cobaan atau adzab yang pedih. (QS An-Nur: 63). Sehingga, perintah itu wajib.
Terkadang shigat Amar dipakai untuk hal-hal yang bermacam-macam, sesuai dengan tanda-tanda (Qarinah) yang menunjukan kearah itu, antara lain:
1)      Untuk Do’a
Firman Allah, “ya Tuhan kami  berilah kami kebaikan di dunia dan di akhirat.” (QS Al-Baqarah: 201)
Kata ‘berilah’ tertuju kepada Allah Swt, maka digolongkan do’a bukan perintah.
2)      Untuk ancaman
Firman Allah: “Perbuatlah apa ynag kamu sukai.” ( QS Fussilat: 40).
Kata ‘perbuatlah’ berarti ancaman, maksudnya apabila berlaku sewenang-wenang akan mendapat ancaman nanti.
3)      Untuk memuliakan
Contohnya, firman Allah: “Masuklah ke dalamnya (surga) dengan sejahtera lagi aman.” (QS Al-Hijr: 46)
Kata ‘masuklah’ bukanlah perintah yang benar-benar, tapi mempersilahkan masuk surge, sebagai tanda untuk memuliakan.
4)      Untuk melemahkan
Contoh, Firman Allah, “Buatlah satu surah saja semisal Alquran.” (QS Al-Baqarah:24).
Kata ‘buatlah’ berarti sebagai tantangan untuk melemahkan dakwaan orang kafir Quraisy, yang menyatakan bahwa Alquran bukanlah wahyu Allah tapi buatam manusia.
5)      Untuk penyerahan / menyerahkan
QS Thaha: 72, “Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan.”
Kata ‘putuskanlah’ adalah jawaban pengikut Nabi Musa terhadap Fir’aun yang memutuskan / menetapkan suatu ancaman bila tetap mengikut Musa. Jadi, kata ‘putuskanlah’ itu maksudnya adalah menyerahkan pada Fir’aun, apakah dilaksanakan atau tidak ancaman tersebut.
6)      Untuk kegusaran
QS Ali-imran: 119, “Matilah kamu karna kemarahan kamu itu.”
Kata ‘matilah’ menunjukan kegusaran terhadap orang kafir yang merasa benci pada orang mukmin karna keimananya.
Kaidah ke-2: “Pada asalnya perintah itu tidak menunjukan berulang-ulang.”
Maksunya, suatu perintah tidak menunjukan bahwa kita harus mengerjakannya/ melakukanya berulang kali, tapi cukup sekali. Kecuali dalil lain atau qarinah. Contohnyua, ibadah haji hanya dilakukan sekali  tapi sholat diperintahkan untunk dilakukan berkali-kali.
Kaidah ke-3: “pada asalnya perintah itu tidak menunjukan segera”
Artinya, perintah tidak mesti langsung dilaksanakan, karna tidak terikat oleh waktu dan masa-masa tertentu.Tidak seperti dalil atau qarinah.
Kaidah ke-4: “ Perintah mengerjakan sesuatu, berarti perintah pula mengerjakan wasilah-wasialnya”
Artinya, bila ada suatu perintah maka segala kegiatan yang menunjang terlaksananya perintah itu, ikut dengan sendirinya diperintah juga. Seperti, wudhu dan shalat.
Kaidah ke-5: “Perintah terhadap sesuatu berarti larangan trerhadap dhid-nya (lawanya).”
Maksudnya, bila ada perintah untuk mengerjakan yang selainya. Contohnya, perintah untuk berdiri.
Dhid atau lawan sesuatu bila kita perhatikan ada 2 macam:
1.      Dhid atau lawan yang tidak berbilang (hanya satu), seperti beriman dhid atau lawanya hanya satu yakni “kufur”.
2.      Dhid atau lawan yang berbilang (dua, tiga, atau lebih), contohnya seperti duduk “duduk” dhid-nya banyak yaitu berdiri, sujud, tidur, dll.
Kaidah ke-6: “Apabila telah dikerjakan sesuatu perintah sesuai dengan jurusannya, berarti terlepaslah perintah itu dari ikatan Amar.”
Contoh, firman Allah yang artinya, “..Kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah dengan debu yang bersih..” (QS An-Nisa’: 43).
Maksudnya, apabila kita tidak mendapat air untuk berwudhu kita bisa bertayamum.
Kaidah ke-7: “ Qadha itu (harus) dengan perintah baru”
Seperti Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah, “Kami (kaum wanita) diperintah meng-qadha shalat.” (HR Bukhari).
2.      An Nahyu
a.       Pengertian An Nahyu
An Nahnu atau nahi, menurut bahasa berarti larangan, tegahan, atau yang terlarang.
Menurut istilah berarti Tuntutan untuk tidak mengerjakan (meninggalkan) sesuatu dari pihak yang lebih tinggi terhadap yang lebih rendah.
b.      Beberapa kaidah tentang An Nahyu
Kaidah ke-1: “pada asalnya, larangan itu adalah menunjukan haram.”
Sighat Nahnu ditujukan ke arah:
1)      Untuk Do’a, (QS Al-Baqarah: 286)
2)      Untuk memberi petunjuk/ membimbing, ( QS Maidah:101)
3)      Untuk keputusasaan, (QS At-Tahrim:7)
4)      Untuk member harapan, (QS At-Taubah: 41)
5)      Untuk anacaman, (QS Al-Hasyar: 7)

Kaidah ke-3: “Larangan yang bersifat mutlak, menunjukan terus menerus sepanjang masa.”
Kaidah ke-4: “ Larangan itu adalah menunjukan rusaknya yang dilarang dalam bidang ibadat.”

B.     AL-‘AM dan AL-KHAS
1.      Al-‘Am
a.       Pengertian Al-‘Am
Al-Am artinya Umum.
Menurut istilah, yaitu Lafaz yang mencakup akan semua apa saja masuk padanya dengan satu ketetapan dan sekaligus.
Maksudnya, lafaz Am itu mencakup seluruh afrad-afrad yang terkandung di dalamnya, seperti lafaz ‘laki-laki’ mencakup semua laki-laki. Atau lafaz ‘manusia’ ini mencakup semua manusia.
b.      Perbedaan antara Umum dengan Mutlak
Umum adalah meliputi secara keseluruhan dan mengenai akan semau afrad-afradnya. Contoh, QS Al-Ashar:2, “ Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.”
Sedangkan Mutlak, contohnya: Seorang guru memerintahkan muridnya untuk memakai seragam putih besok. Karna ia hanya mengenai sebagian dari muridnya.
c.       Lafaz-lafaz yang menunjukan Umum
1)      Lafaz yang berdiri sendiri berarti umum. Seperti: lafaz “kullu (QS Ali-Imran:185) , jami’un (QS Al-Baqarah: 29) , kafatan (QS Sa’ba: 28), dan ma’syarun (QS Al-An’am: 130).”
2)      Lafaz yang berbentuk atau jenis isim syarat, bersifat ada balasan antara lain, lafaz Man (QS An-Nisa: 122) dan lafaz Aina (QS Al-Baqarah: 272).
3)      Lafaz yang berbentuk Isim Istifham artinya lafaz nama yang bersifat bertanya, seperti Lafaz Man, Ma, dan Aina.
Contoh, seperti perkataan orang:
a)      “Siapa di dalam rumah?”
b)      “Apa yang ada padamu?”
c)      “Dimana tempatmu?”
4)      Lafaz yang Nakirah, yang didahului oleh Nafi. Contoh, QS Al-Baqarah:48)
5)      Lafaz yang berbentuk Isim Mausul, yang terpakai untuk kalimat sambung, antara lain, Lafaz Allazi, Al Lati, Al Lazina, dan Al Laati. Contohnya, QS An-Nisa: 10
6)      Lafaz Ay (Ãí) artinya kapan saja. Lafaz ini berbentuk  Istifham. Contoh, QS Al-Isra: 110.
7)      Lafaz yang berbentuk ta’rif idafah, artinya Isim yang Makrifah dengan jalan yang idayah. Contohnya, QS Al-Ibrahim: 34.
d.      Hal-hal yang berhubungan dengan Al-Am
Pertama,




















BAB V
IJTIHAD, ITTIBA’, TALFIQ, DAN TAQLID

A.       Ijitahad
Dari segi bahasa ‘ijitihad’ berasal dari kata jahada yang berarti mencurahkan segala kesempurnaan atau menanggung beban kesulitan. Kata ‘ijtihad’ dipakai mengikuti wazan Ifti’al yang berarti ‘bersangatan dalam pekerjaan’. Oleh sebab itu, kata ‘ijtihad’ berarti mencurahkan segala kemampuan dalam segala perbuatan. Dengan demikian, kata ‘jihad’ dan ‘ijtihad’ berasal dari kata yang sama. Hanya saja, kata ‘ijtihad’ bergerak dalam lapangan pemikiran dan penelitian, sedangkan kata ‘jihad’ bergerak dalam ruang lingkup perbuatan dan tingkah laku dalam skala yang lebih luas.
Menurut Ulama ushuliyyin mengartikan ijtihad dengan usaha mencurahkan segenap kemampuan dan kesanggupan intelektual dalam mengistimbathkan hukum praktis yang diambil dari dalil-dalil terperinci.
Pada prinsipnya, ijtihad adalah manifestasi pemikiran kefilsafatan. Oleh karna itu, ijtihad merupakan kerja akal yang memperoleh bimbingan syara’ sehingga hasil ijtihad itu merupakan bagian dari hasil kerja akal manusia.
Akal adalah asanya ijtihad, terutama bidang-bidang yang tidak ada nashnya. Dan membutuhkan metodologi yang benar serta menghindarkan diri dari bisikan-bisikan hawa nafsu. Sehingga, mujtahid (orang yang berijtihad) dituntut untuk memiliki objektivitas yang tinggi dan menguasai ilmu-ilmu alat seperti pengetahuan bahasa Arab, ilmu Alquran, Ilmu Hadis, Pengetahuan tentang Ijma, Qiyas, dsb.
B.     Ittiba’
Dari segi bahasa berarti ‘menurut’ atau ‘mengikuti’, sedangkan orang yang diikuti disebut muttabi.
Ittiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba’ diartikan mengikuti pendapat oranglain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti.
Ittiba’ dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
a.       Ittiba’ kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, dalam (QS Al-a’raf (7): 3)
b.      Ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-Nya
Mengenai ittiba’ kepada para ulama dan mujtahid terdapat perbedaan. Ada yang mengkategorikan sebagai waratsatul anbiya, dengan alasan firman Allah, QS Al-Nahl (16):43, yang artinya “Maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi tidak memenuhi syarat—syarat tertentu untuk berittiba’. Bila seseorang tidak sanggup memecahkan persoalan keagamaan dengan ssendirinya, ia wajib bertanya kepada mujtahid atau kepada orang yang benar-benar mengetahui tentang islam.
C.     Talfiq
Talfiq berarti menyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda. Menurut istilah dimaksudkan sebagai nama dari salah satu sikap beragama yang mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa bertdasarkan kepada pendapat dari berbagai mazhab. Misalnya, seorang laki-laki dan perempuan melaksanakan akad nikah tanpa wali dan saksi, karna: pertama, mengikuti pendapat mazhab Hanafiyah yang tidak mensyaratkan wali dalam pernikahan, dan kedua, mazhab Malikiyah yang tidak mensyaratkan saksi dalam pernikahan tersebut.
Pada dasarnya, tafliq dibolehkan dalam islam selama bertujuan untuk melaksanakannya semata-mata mengikuti pendapat yang lebih kuat argumentasinya, yaitu setelah meneliti dali-dalil dan analisis masing-masing pendapat tersebut.
D.    Taglid   
Taqlid berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘mengulangi, meniru, dan mengikuti’.
Taqlid adalah megikuti pendapat seorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut. Orang yang bertaqlid disebut mukallid.
Ada 2 unsur yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan taqlid, yaitu:
1.      Menerima atau mengikuti suatu perkataan seseorang
2.      Perkataan tersebut tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Alquran dan Hadist tersebut.
Menurut Rasyid Radha, taqlid adalah mengikuti pendapat orang yang dianggap terhormat dalam masyarakat dan dipercaya dalam hukum islam tanpa memerhatikan benar atau salahnya, baik buruknya, serta manfaat mudharatnya pendapat tersebut.
Taqlid dilarang dalam bentuk 3 hal, yaitu:
1.      Semata-mata mengikuti tradisi nenek moyang yang bertentangan dengan Alquran dan Hadis. Contohnya: tirakatan selama 7 malam di makam, dengan keyakinan bahwa hal itu akan mengabulkan semua keinginan, padahal perbuatan tersebut adalah syirik. Sepert dalam QS Al-Ahzab (33): 64.
2.      Mengikuti orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahlianya dan menggandrungi daerahnya itu melebihi kecintaannya pada dirinya sendiri, seperti dalam QS Al-Baqarah (2): 165-166.
3.      Mengikuti pendapat seorang, padahal diketahui bahwa pendapat tersebut salah. Firman Allah QS Al-Taubah (9):31.
Oleh karna itu, Seorang yang bertaqlid tersebut harus terus belajar mendalami pengetahuan hukum islam.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar